Halaman

Selasa, 29 September 2009

Proposal Desertasi Sutarto

PROPOSAL DISERTASI

Judul: KONTRIBUSI KETERSEDIAAN DANA DAN SARANA PENDIDIKAN TERHADAP KINERJA DOSEN DALAM MENINGKATKAN MUTU LULUSAN PTAIS DI PROPINSI JAWA BARAT.

A. Latar Belakang Masalah
Perguruan tinggi merupakan salah satu institusi yang dianggap memiliki peran penting dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Karena lembaga pendidikan tinggi merupakan tempat bagi persemaian wawasan, sikap dan tindakan yang relevan dengan kemampuan, minat dan bakat. Pendidikan tinggi dapat menjadi jendela untuk menatap dunia yang luas dan kompleks. Begitu kompleksnya, sehingga banyak stereotip yang delabelkan pada lulusan perguruan tinggi, seperti tidak siap memasuki lapangan kerja, kalah bersaing, tidak profesional dan sebagainya. Melihat realita seperti itu, muncullah gagasan untuk kurikulum pendidikan tinggi. Mulai dari konsep link and match, competency base, dan sebagainya. Perubahan-perubahan itu dibuat, sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan antara dunia pekerjaan dengan alumni pendidikan tinggi.
Realitas saat ini, bangsa Indonesia sedang berkompetisi dalam kehidupan yang semakin ketat melalui era perdagangan bebas di wilayah Asia Tenggara 2003 (Asean Free Trade Area) dan Asia Pasifik 2020, dan apakah SDM Indonesia mampu berkompetisi di tengah persaingan bebas tersebut. Oleh karenanya, jika SDM Indonesia yang melimpah itu terdesak dan kalah dengan SDM dari negara lain, sungguh sangat memprihatinkan. Kemudian pendidikan tinggi yang hakikatnya didirikan untuk menjawab tantangan mengenai pentingnya sarjana yang memiliki kualifikasi keahlian sesuai dengan bidang atau profesinya. Dalam hal ini, maka terdapat pembidangan ilmu sesuai dengan nomenklaturnya masing-masing. Oleh karena itu, dikenal perguruan tinggi berbasis teknikal-operasional yang memproduk sarjana hard science dan konseptual-teoritikal/implementatif yang memproduk sarjana soft science.
Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI), didirikan dalam rangka untuk menjawab tantangan kedepan, yaitu mencetak sarjana yang memilki kualifikasi dalam bidang agama Islam. Sesuai dengan pembidangan di atas, alumni PTAI adalah sarjana yang tergolong ke dalam tataran keilmuan yang konseptual-teoritikal/implementatif. Sebagai ciri keilmuan yang konseptual-teoritikal /implementatif adalah keahlian yang tidak semata-mata implementatif, tetapi juga memilki keahlian konseptual, yang berciri khas analitik. Keahlian analitik diperlukan karena mereka berhadapan dengan perubahan sosial secara terus-menerus yang tentunya juga mengharuskan perubahan paradigma dalam berpikir.
Ilmu-ilmu agama memiliki kaitan dengan dunia sosial-antropologis, bahkan politik dan ekonomi, sehingga pengembangan keilmuan Islam juga harus tertata dengan apik. Sehubungan dengan itu, maka lulusan PTAI akan memilki profil sebagai sarjana yang memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap perubahan-perubahan sosial-relegius berdasarkan pendekatan keilmuan yang relevan.
Peranan pendidikan tinggi dalam pengembangan SDM dapat dicirikan pada tiga hal. Pertama, mencetak manusia yang bertanggung jawab. Setiap perbuatan pasti ada tanggungjawabnya yang berkonsekwensi akhirat. Tanggung jawab tidak hanya sekedar administratif di dunia, tetapi lebih jauh secara substantif di akhirat. Melalui tanggung jawab inilah akan tercipta etika sosial, karena setiap tindakan dalam bentuk apapun akan memiliki nilai tanggung jawab baik dunia maupun akhirat.
Kedua, Peran kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mengajarkan pada kita bahwa ilmu pengetahuan adalah sarana untuk membebaskan, dalam arti bahwa melalui kemampuan berpikir manusia diajarkan untuk menemukan (discovery) tentang sesuatu dalam bidangnya. Kebebasan dalam konteks ini adalah kebebasan untuk menemukan sesuatu, merevisi, atau menguatkan suatu dalil, teori dan konsep yang telah ada untuk kemaslahatan. Kebebasan bukan malah menjadi desdruktif.
Ketiga, penguasaan terhadap kompetensi. Pendidikan harus mengarahkan peserta didik pada keahlian tertentu sehingga menjadi sarana untuk mengakses kehidupan. Oleh karena itu maka pendidikan tinggi harus dirancang untuk mewujudkan sarjana yang profesional sesuai dengan keahliannya.
Sampai saat ini, kiblat pendidikan tinggi Islam masih merujuk pada Universitas Islam Negeri (UIN) atau Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Kemudian pemerintah membentuk sebuah lembaga Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS) yang berfungsi untuk memberdayakan, membimbing dan mengevaluasi pelaksanaan pendidikan di PTAIS. Meskipun demikian, masih terdapat semacam label bahwa PTAIS berada di bawah UIN/IAIN. Image yang semacam ini tentu tidak menguntungkan posisi PTAIS yang dikategorikan sebagai peringkat kedua.
Menurut data KOPERTAIS Wilayah II Jawa Barat tahun 2009/2010, jumlah PTAIS yang ada di bawah naungan KOPERTAIS wilayah II berjumlah 98 PTAIS yang menyebar di wilayah Jawa Barat. Dari 98 PTAIS terdapat beberapa perguruan tinggi yang dikatakan layak, dan masih banyak yang dibawah standart. Untuk menyatakan apakah suatu perguruan tinggi memenuhi standart atau tidak maka perlu adanya indikator-indikator yang dijadikan sebagai ukuran. Adapun indikator yang dipakai adalah:
a. Jumlah mahasiswa.
Peserta didik dalam hal ini adalah mahasiswa merupakan objek utama dalam pendidikan. Jumlah mahasiswa ideal dari sebuah perguruan tinggi pada setiap program studinya adalah 500 mahasiswa. Sedangkan kondisi riel, hampir sebagian besar PTAIS yang ada di daerah mempunyai mahasiswa dibawah 500 orang. Jumlah yang sangat minim untuk sebuah perguruan tinggi. Dengan jumlah yang minim seperti itu, maka sangat sulit bagi sebuah perguruan tinggi untuk tetap eksis dalam proses belajar dan mengajar.
b. Jumlah tenaga pengajar (dosen).
Dosen sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan dosen sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Dosen harus pandai membawa peserta didik kepada tujuan yang hendak dicapai. Beberapa hal yang harus dimiliki oleh dosen adalah; mempunyai kualifikasi pendidikan yang cukup, yaitu minimal harus magister (S-2), mempunyai loyalitas sebagai pendidik, menguasai materi pengajaran, menguasai beberapa metode pengajaran sehingga ia mampu menggunakan metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterlibatan dosen mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peranan yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Perguruan tinggi merupakan sebuah institusi yang mencetak kader atau generasi yang berkemampuan dan mandiri serta memiliki perilaku demokratis dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu kehadiran dosen yang profesional dan kualifite merupakan syarat mutlak. Sedangkan kondisi riel, Jumlah dosen yayasan yang berpendidikan memadai untuk pendidikan tinggi –kepangkatan minimal IV/a (Lektor Kepala) atau berpendidikan strata dua atau tiga (S-2 atau S-3)-- masih sangat terbatas.
c. Sarana dan prasarana yang memadai.
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran disamping faktor-faktor yang lain. Sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi kondusif dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana, terutama sarana belajar dan mengajar, merupakan hal yang esensial. Kondisi riil, sarana dan prasarana yang dimiliki PTAIS tergolong masih minim. Padahal, keberadaan sebuah pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh keberadaan sarana dan prasarana pendidikannya, seperti ruang perkuliahan, perpustakaan dengan ruangan dan koleksi buku yang memadai, laboratorium pembelajaran yang memadai.
d. Proses belajar dan mengajar yang berkualitas.
Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melakukan proses pembelajaran. Kekurang seriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: Kekurang siapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menyebabkan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan, atau minimnya jumlah mahasiswa, dan sebagainya.
e. Input dan out pun pendidikan yang belum maksimal.
Kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS adalah mereka yang gagal dalam ajang UMPTN. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka yang masuk PTAIS adalah mahasiswa yang kurang berkualitas baik dari segi intelegensi-nya maupun ekonominya. Akibatnya tentu saja lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.
Sementara itu, pendidikan sangat terkait dengan masalah pengembangan yang merupakan suatu proses mendapatkan pengalaman, keahlian dan sikap untuk menjadi sesuatu atau meraih sukses. Oleh karenanya, kegiatan pengembangan diarahkan untuk membantu seseorang untuk dapat menangani persoalannya di masa mendatang. Sering terjadi perbedaan pemahaman antara kegiatan pendidikan (sekarang) dan pengembangan (di masa mendatang). Pendidikan dapat membantu seseorang untuk mengerjakan pekerjaan mereka saat ini, keuntungan dari program pendidikan dapat diperoleh sepanjang kariernya dan dapat membantu peningkatan kariernya di masa mendatang. Namun, pengembangan dapat membantu individu untuk memegang tanggung jawab di masa mendatang.
Pada dasarnya setiap kegiatan pendidikan tentu harus mempunyai sasaran yang jelas yang memuat hasil yang ingin dicapai dengan melaksanakan kegiatan tersebut. Hasil yang ingin dicapai hendaknya dirumuskan dengan jelas agar langkah-langkah persiapan dan pelaksanaan pendidikan dapat diarahkan untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Sasaran pendidikan yang dapat dirumuskan dengan jelas akan dijadikan sebagai acuan penting dalam menentukan materi yang akan diberikan, cara dan sarana-sarana yang diperlukan. Sebaliknya sasaran yang tidak spesifik atau terlalu umum akan menyulitkan penyiapan dan pelaksanaan pendidikan sehingga tidak dapat menjawab kebutuhan pendidikan.
Berkaitan dengan sasaran pendidikan Rivai, (2009: 4) merumuskan dengan jelas akan bermanfaat dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Menjamin konsistensi dalam menyusun program pendidikan yang mencakup materi, metode, cara penyampaian, sarana pendidikan;
2. Memudahkan komunikasi antara penyusun program pendidikan dengan pihak yang memerlukan pendidikan;
3. Memberikan kejelasan bagi murid tentang apa yang harus dilakukan dalam rangka
mencapai sasaran;
4. Memudahkan penilaian peserta dalam mengikuti pendidikan;
5. Memudahkan penilaian hasil program pendidikan;
6. Menghindarkan kemungkinan konflik antara penyelenggara dEmgan orang yang meru¬pakan objek pendidikan mengenai efektivitas pendidikan yang diselenggarakan.

Selanjutnya masih menurut Rivai, (2009: 4) tujuan atau sasaran dari pendidikan pada dasarnya dapat dikembangkan dari serang¬kaian pertanyaan sebagai berikut.
1. Keefektifan validitas pendidikan
Apakah peserta memperoleh keahlian, pengetahuan, dan kemampuan selama pendidikan.
2. Keefektifan pengalihan/transfer ilmu pengetahuan.
Apakah pengetahuan, keahlian atau kemampuan yang dipelajari dalam pendidikan dapat meningkatkan kinerja dalam melakukan tugas.
3. Keefektifan validitas intraorganisasional.
Apakah kinerja pekerjaan dari grup baru yang menjalani program pendidikan di perusahaan yang sarna dapat dibandingkan dengan kinerja pekerjaan dari grup sebelumnya.
4. Keefektifan validitas interorganisasional.
Dapatkah suatu program pendidikan yang diterapkan di satu perusahaan berhasil di perusahaan yang lain.

Dengan demikian, kegiatan pendidikan pada dasarnya dilaksanakan untuk mengha¬silkan perubahan tingkah laku dari orang-orang yang mengikuti pendidikan. Perubahan tingkah laku yang dimaksud di sini adalah dapat berupa bertambahnya pengetahuan, ke¬ahlian, keterampilan dan perubahan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sasaran pendidikan dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe tingkah laku yang diinginkan, antara lain.
1. Kategori psikomotorik, yang meliputi pengontrolan otot-otot sehingga orang dapat me¬lakukan gerakan-gerakan yang tepat sehingga sasarannya adalah agar orang terse but memiliki keterampilan fisik tertentu.
2. Kategori afektif, yang meliputi perasaan, nilai, sikap, sehingga sasaran pelatihan dalam kategori ini adalah untuk membuat orang mempunyai sikap tertentu.
3. Kategori kognitif, yang meliputi proses intelektual seperti mangingat, memahami, menganalisis sehingga sasaran pendidikan pada kategori ini adalah untuk membuat orang mempunyai pengetahuan dan keterampilan berpikir.
Manfaat pendidikan bagi peserta didik adalah membantu murid dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah yang lebih efektif. Melalui pendidikan, variabel pengenalan, pencapaian prestasi, pertumbuhan, tang¬gung jawab dan kemajuan dapat diinternalisasi dan dilaksanakan. Dengan pendidikan akan mendorong dan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya diri, membantu peserta didik mengatasi stres, tekanan, frustasi, dan konflik. Pendidikan juda dapat memberikan informasi tentang meningkatnya pengetahuan kepemimpinan, keteram¬pilan komunikasi dan sikap serta membantu pengembangan keterampilan mendengar, bicara, dan menulis dengan latihan.
Kemudian manfaat pendidikan untuk perusahaan, ketika seseorang telah mernasuki dunia kerja adalah mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih positif terhadap orientasi profit, memperbaiki pengetahuan kerja dan keahlian pada semua level perusahaan dan pemecahan masalah yang lebih efektif serta membantu pengembangan keterampilan kepemimpinan, motivasi, kesetiaan, sikap, dan aspek lain yang biasanya diperlihatkan pekerja.
Pendidikan akan berhasil jika proses penyelenggaraannya dengan mengisi kebutuhan pendidikan yang benar. Pada dasarnya kebutuhan adalah untuk memenuhi kekurangan pengetahuan, meningkatkan keterampilan dan sikap. Pada dasarnya kebutuhan tersebut dapat digolongkan menjadi: pertama, kebutuhan memenuhi tuntutan saat ini. Kebutuhan ini biasanya dapat dikenali dari prestasi karyawannya yang tidak sesuai dengan standar hasil kerja yang dituntut pada jabatan itu. Meskipun tidak selalu penyimpangan ini dapat dipecahkan dengan pendidikan; kedua, memenuhi kebutuhan tuntutan jabatan lainnya. Pada tingkat hierarki mana pun dalam perusahaan sering dilakukan rotasi jabatan; ketigu, untuk memenuhi tuntutan perubahan. Perubahan-perubahan, baik intern berupa perubahan system atau struktur organisasi maupun ekstern berupa perubahan teknologi atauperubahan orientasi, memerlukan adanya tambahan pengetahuan baru.
Untuk mengetahui keberhasilan suatu program, maka kegiatan pendidikan dievaluasi secara sistematis, termasuk pengelola/pelaksana pendidikan. Lemahnya evaluasi mungkin menjadi permasalahan yang serius dalam suatu kegiatan pendidikan. Pendidikan juga perlu memerhatikan evaluasi (feed back) dari peserta yang mengikuti program pendidikan, disamping dari hasil evaluasi diri.
Kemudian mutu pendidikan tidak terlepas dari faktor kinerja organisasi dan seberapa besar penilaian masyarakat sebagai stakeholders terhadap keberadaan lembaga pendidikan. Dengan demikian kinerja secara umum dapat mempengaruhi mutu pendidikan yang dapat diketahui dari kemampuan para dosen.
Lembaga pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak saja mampu menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, akan tetapi juga manusia-manusia yang mampu mengembangkan kehidupan bermasyarakat sehingga masyarakatnya tidak statis dan bersifat tradisional. Keseluruhan kegiatan tersebut di atas berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan. Mutu pendidikan akan dipengaruhi bagaimana penyelenggaraan kegiatan pendidikan tersebut dapat berlangsung pada kegiatan belajar mengajar dapat diselenggarakan dengan baik. Kegiatan pendidika sangat tergantung bagaimana pengelolaan pendidikan, kinerja dosen dan ketersediaan dana beserta komponen lain yang terkait yang dapat mempengaruhi dalam mencapai tujuan pendidikan.
UUD 1945 pasal•31 memberikan landasan konstitusional yang kuat dalam bidang pendidikan dengan mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, kemudian setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karenanya pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Kemudian negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Pemerintah berkewajiban untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai- nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian pendidikan memegang peranan penting dalam kemajuan bangsa dan negara.
Kemudian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Perspektif makro pendidikan nasional sebagai usaha untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan modern. Pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Keberhasilan pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan.
Pendidikan nasional dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja yang mencakup: "(a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; (c) penataan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik; dan (d) peningkatan pembiayaan" (Renstra Depdiknas, 2006-2010). Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan reformasi menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Reformasi politik pemerintahan ini ditandai dengan perubahan radikal tata kepemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diatur kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pendidikan yang semula menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat kemudian dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja pendidikan nasional.
Mengacu kepada tiga kebijakan pembangunan pendidikan Islam dalam Rencana Strategis (Renstra) Ditjen Pendidikan Islam 2009- 2014, sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009 – 2014 bidang pendidikan. Tiga kebijakan tersebut terdiri dari: (1). Perluasan dan Pemerataan Akses; Ditujukan kepada upaya perluasan daya tampung satuan Pendidikan Islam dengan mengacu kepada skala prioritas nasional dengan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik; (2) Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing; Diarahkan pada peningkatan mutu Pendidikan Islam sehingga dapat memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP); dan (3) Peningkatan Tata Kelola dan Pencitraan, Diarahkan pada pembenahan perencanaan jangka menengah dengan menetapkan kebijakan strategis serta program-program yang didasarkan berdasarkan skala prioritas.
Kebijakan strategis Ditjen Pendidikan Islam mencakup berbagai inisiatif yang bersifat strategis untuk mencapai sasaran kebijakan umum Ditjen Pendidikan Islam dalam perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, dan peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitran.
Kebijakan Strategis Di Bidang Peningkatan Mutu, Relevansi, Dan Daya Saing adalah : (1) Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan kualifikasi dan kompetensi; (2)Peningkatan kualifikasi dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan; (3) Sertifikasi guru dan dosen; (4) Pemberian Tunjangan Fungsional Guru Non-PNS; (5) Pengembangan konsorsium kurikulum pendidikan Islam; (6) Pengembangan madrasah internasional; (7) Peningkatan kinerja riset pendidikan Islam; (8) Pengembangan Ma'had PTAI; (9) Peningkatan Bantuan Peningkatan Mutu Madrasah; (10) Peningkatan Pemanfaatan ICT dalam proses belajar-mengajar; (11) Peningkatan kerjasama dengan lembaga/kementerian dan instansi-instansi terkait, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan lembaga donor dalam dan luar negeri.
Mutu dipandang sebagai salah satu alat untuk mencapai keunggulan kompetitif, karena mutu merupakan salah satu faktor utama yang menentukan pemilihan produk dan jasa bagi pelanggan. Tujuan dari organisasi bisnis adalah untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat memuaskan pelanggan. Kepuasan pelanggan akan tercapai apabila mutu produk dan jasa yang diberikan sesuai dengan kebutuhannya.
Perguruan Tinggi sebagai salah satu organisasi layanan jasa, saat ini mengalami perubahan yang fundamental. Perubahan kurikulum, perubahan proses pembelajaran, dan sebagainya, berdampak pada mutu lulusan. Perubahan dilakukan untuk mengantisipasi perubaban lingkungan terutama dalam menyambut era globalisasi. Perubahan ini bukan hanya disebabkan karena pesatnya perkembangan ilmu, teknologi dan seni, melainkan juga karena perubahan ekspektasi masyarakat terhadap peranan sekolah dalam merintis hari depan bangsa dan negara.
Tuntutan terhadap mutu pendidikan dewasa ini bukan hanya sebatas kemampuan untuk menghasilkan lulusan yang diukur secara akademik, melainkan keseluruhan program dan lembaga-lembaga pendidikan harus mampu membuktikan mutu yang tinggi yang didukung oleh akuntabilitas yang ada. Bukti prestasi, penilaian, sertifikasi mutu, keberhasilan alumni dalam mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmunya, serta hasil evaluasi juga dibutuhkan untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat.
Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak dunia pendidikan terutama lembaga pendidikan untuk mulai secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan mengadakan perubahan demi perbaikan mutu, sehingga lulusan yang dihasilkan adalar: yang unggul dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan meningkat.
Berawal dari keterbatasan dana yang tersedia menjadikan lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu menyediakan fasilitas pendidikan dan insentif yang memadai. Keterbatasan itu berakibat penyelenggaraan proses belajar mengajar berjalan seadanya. Kualitasnya menjadi lemah dan kemudian menjadikan semangat dan inovasi di lingkungan perguruan tinggi menjadi tumpul, lalu akibatnya minat masyarakat terhadap lembaga pendidikan tinggi ini kecil.
Oleh karena sumber utama pendanaannya sebatas mengandalkan iuran mahasiswa, maka jumlah dana yang diterima pun menjadi terbatas. Apalagi jika jumlah mahasiswanya yang masih sedikit.
Berikut ini perbandingan anggaran fungsi pendidikan pada Departemen Agama dan Depatemen Pendidikan Nasional



Kemudian anggaran Tahun 2008 Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam mendapatkan pagu (Prioritas & Reguler) anggaran sebesar Rp 905.217.052.000 (sembilan ratus lima milyar dua ratus tujuh belas juta lima pulh dua ribu rupiah). Yang didistribusikan ke berbagai level lembaga pendididang dengan perbandingan sebagai berikut:

Kemudian Perbadingan anggaran PAGU DITPENDIS 2008 ( PRIORITAS & REGULER) antara PAIS dan DKTI sebagai berikut:
• PAIS : 60.952.000
• DIKTI : 95.091.250
Dengan pembagian ke dalam sub-sub unit berikut:



Selain persoalan itu, perguruan tinggi Islam juga mengalami problematika lain. Seperti misalnya menyangkut : (1) relevansi prodi yang dikembangkan dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya, (2) kualitas pelayanan, dan (3) kemampuan dan keterampilan manajerial dan leadershipnya. Mengenai relevansi prodi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, pada umumnya perguruan tinggi Islam terlalu berpegang pada idealisme yang tinggi. Mereka hanya membuka prodi yang konvensional sebagaimana yang telah dikembangkan oleh perguruan tinggi negeri (IAIN/STAIN). Hal ini terlihat pada banyaknya PTAI membuka prodi Syariah, Ushuludin, Tarbiyah, Adab, dan Dakwah. Padahal dengan kasat mata, lulusan prodi ini telah banyak diproduk oleh IAIN dan STAIN dan dibanyak tempat sudah banyak sarjananya yang menganggur, atau sulit mencari lapangan kerja. Bahkan, sudah mengalami titik jenuh. Pada umumnya PTAI kurang berani keluar dari tardisi seperti ini, misalnya dengan membuka prodi baru yang lebih prospektif dan dibutuhkan masyarakat pendukungnya. Hal yang sama juga terjadi di tubuh PTAIS. Berbicara mengenai kualitas, PTAIS pada umumnya belum mampu mengejar para kompetitornya, yaitu lagi-lagi IAIN/UIN/STAIN. Memang, PTAIS berstatus swasta, dan dengan posisi yang mereka sandang itu, mereka harus bekerja ekstra keras (hard work) untuk mengumpulkan energi agar mampu setara dan berkompetisi dengan PTAIN yang serba tercukupi kebutuhannya oleh pemerintah. Biasanya, kompetisi ini masih tetap dimenangkan oleh PTAIN.
Sehubungan dengan hal di atas, maka proses penyelenggaraan pendidikan telah banyak menarik perhatian para peneliti dan praktisi pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu lembaga pendidikan. Oleh karena itu, penelitian strategis yang berkaitan dengan pengelolaan pendidikan perlu digalakkan, sehingga dapat diketahui bagaimana upaya-upaya yang seharusnya dilakukan dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan yang diharapkan. Hasil-hasil penelitian demikian sangat perlu karena berguna dalam memberikan informasi kepada para pembuat kebijaksanaan di bidang pendidikan dan penelitian.
Untuk memenuhi tuntutan itu, maka Perguruan Tinggi perlu memperoleh kepercayaan masyarakat dengan jaminan mutu (quality assurance), pengendalian mutu (quality control), dan perbaikan mutu (quality improvement). Jaminan, pengendalian, dan pembinaan atau perbaikan mutu dapat diberikan kepada sekolah yang telah dievaluasi secara cermat melalui program akreditasi nasional.
Mengenai pentingnya mutu pendidikan dalam penerapan manajemen mutu, penelitian Hj. Ummu Athiyah (2008) berjudul pengaruh supervisi kepala madrasah dan kinerja guru terhadp mutu pendidikan Madrasah Aliyah (MA) di Kota Tangerang, menghasilkan beberapa simpulan.
Hasil uji hipotesis adalah: (1) Terdapat pengaruh yang kuat sebesar 0,716 antara supervisi kepala madrasah terhadap mutu pendidikan, bentuk hubungannya positif dan searah yang diwujudkan dalam persamaan Ÿ=10,201 + 0,848 X1; (2) Terdapat pengaruh yang kuat sebesar 0,606 antara kinerja guru terhadap mutu pendidikan, bentuk hubungannya positif dan searah yang diwujudkan dalam persamaan Ÿ=24,911 + 0,668X2; (3) Terdapat pengaruh yang kuat sebesar 0,755 antara supervisi kepala madrasah dan kinerja guru secara bersama-sama terhadap mutu pendidikan, bentuk hubungannya positif dan searah yang diwujudkan dalam persamaan Ÿ = -0,449 + 0,650 + 0,323 X2. Setelah melalui uji signifikansi, maka nilai-nilai koefisien korelasi menunjukan keberartian yang kuat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila faktor kepemimpinan kepala madrasah dan kinerja guru ditingkatkan maka akan memberi peningkatan terhadap mutu pendidikan pada Madrasah Aliyah (MA) di Kota Tangerang Propinsi Jawa Barat .
Masalah mutu yang dihadapi dalam dunia pendidikan, di antaranya mutu lulusan, mutu pengajaran, bimbingan dan latihan dari guru serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu keseluruhan komponen tersebut terkait dengan mutu manajerial para pimpinan pendidikan, ketersediaan dana, sarana dan prasarana, media, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim kerja, lingkungan pendidikan serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen¬komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Perumusan Masalah
Bidang masalah dalam penelitian ini adalah kinerja dosen dalam meningkatkan mutu lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) di Propinsi Jawa Barat. Dalam kegiatan pendidikan di Perguruan Tinggi meliputi kegiatan pembelajaran, pembimbingan, dan evaluasi.
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses (pembelajaran, pembimbingan, evaluasi) yang diarahkan pada penguasaan pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan, serta sikap dan nilai yang mendasari dalam bidang yang sesuai dengan mata pelajaran yang diikutinya.
Tujuan pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan yang di¬inginkan oleh pengguna serta dapat membentuk tingkah laku yang diharapkan serta kondisi-kondisi bagaimana hal tersebut dapat dicapai. Tujuan yang dinyatakan ini kemudian menjadi standar terhadap kinerja individu dan program yang dapat diukur. Tujuan pendidikan secara spesifik harus dapat diukur, dan pencapaian target tepat waktu sebagaimana diuraikan di atas memberikan pedoman kepada pendidik dan peserta pendidikan untuk mengevaluasi kesuksesan mereka. Jika tujuan tidak terpenuhi, lembaga pendidikan dikatakan gagal dalam melaksanakan program pendidikan dan pengem¬bangan.
Proses pendidikan dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik dari dalam diri peserta didik, maupun dari luar. Faktor-faktor dari dalam diri peserta didik, antara lain: intelektual, motivasi, ketrampilan, pengalaman, latar belakang keluarga dan prestasi belajar dalam pendidikan sebelumnya. Faktor-faktor di luar peserta didik, meliputi: dosen, pimpinan, staf adminsitrasi, teman-teman sejawat, sarana dan prasarana belajar, media dan sumber-sumber belajar, kultur, manajemen personalia, lingkungan masyarakat, dan dunia kerja.
Penelitian ini akan menggunakan kerangka pikir sistemik dalam proses pembelajarn, yaitu keterkaitan antara faktor input yang akan mempengaruhi proses pembelajaran sehingga akan memberikan dapak pada hasil (output) pada mutu lulusan.
Dalam konteks program pembelajaran di perguruan tinggi, komponen-komponen utamanya yang secara sistemik meliputi: input, process, output dan outcome, input terdiri atas: raw input, instrumental input dan environmental input. Komponen-komponen yang mempengaruhi output atau mutu hasil pendidikan berupa mutu lulusan PTAIS: raw input-nya adalah mahasiswa, instrumental input-nyaadalah: kebijakan Depag, kepemimpinan PTAIS, kurikulum, dosen, biaya pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, dan environmental input-nya adalah orang tua mahasiswa, masyarakat dan lembaga-lembaga pengguna lulusan. Komponen proses yang mempengaruhi hasil pendidikan adalah: pengelolaan pendidikan, kinerja dosen, pelaksanaan pembelajaran, bimbingan siswa, evaluasi, dan kegiatan-kegiatan kemahsiswaan.
Faktor-faktor yang dianalisis dengan menggunakan kerangka konsep balanced scorecard sama dengan yang dianalisis secara sistemik pada kinerja dosen yang meliputi proses pembelajaran, pembimbingan dan evaluasi; kebijakan Depag, kepemimpinan PTAIS, kurikulum, dosen, biaya pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga pengguna lulusan, serta output dan outcome mutu lulusan.
2. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan pada perumusan masalah, banyak faktor yang terkait dengan proses pendidikan. Pada prinsipnya semua faktor dapat diteliti, tetapi karena mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti, maka dalam penelitian ini tidak semua faktor diteliti sama kedalamannya. Beberapa faktor akan digabung dalarn satu faktor atau variabel.
Secara sistemik faktor-faktor tersebut akan dikelompokkan dalam komponen- komponen proses pendidikan atau program pembelajara adalah sebagai berikut:
a. Komponen input:
1) Kebijakan Depag
2) Kepemimpinan PTAIS
3) Kurikulum
4) Dosen
5) Mahasiswa
6) Biaya
7) Saran dan prasarana
b. Komponen Proses, yang meliputi faktor atau variabel:
1) Pengelolaan pendidikan
2) Kinerja dosen
3) Pembelajaran
4) Bimbingan
5) Evaluasi
6) Kegiatan kemahasiswaan
c. Komponen output sebagai mutu lulusan, yang meliputi faktor atau variabel:
1) Pengetahuan
2) Keterampilan
3) Sikap
4) Kepribadian
5) Kesiapan kerja
Hubungan antara komponen secara visual dapat dilihat dalam gambar berikut:

Presage variables Fokus variables Impact variables








Selain analisis secara sistemik penelitian ini juga akan menggunakan analisis Balanced Scorecard, untuk melihat keseimbangan dan keterpaduan antar faktor atau variabel poses pembelajaran. Dalam anlisis Balanced Scorecard faktor atau variabel yang dianalisis sama hanya pengelompokannya yang ada sedikit berbeda, Dalam konsep Balanced Scorecard ada empat perspektif yang diuji keseimbangannya yaitu Perspektif Proses, Pembelajaran dan Pertumbuhan, Konsumen dan Keuangan.
Pada penelitian ini peneliti akan membatasi masalah yang ditelati pada perspektif proses sama dengan komponen proses pada kinerja dosen yang meliputi faktor atau variabel: pembelajaran, bimbingan dan evaluasi. Perspektif pembelajaran•dan• pertumbuhan merupakan komponen sarana dan prasarana pendidikan. Perspektif keuangan meliputi faktor atau variabel pengelolaan dana. Perspektif pelanggan meliputi faktor atau variabel mutu lulusan mahasiswa dan alumni pada kesiapan kerja.
Masing-masing variabel memiliki sub variabel, yang rinciannya akan dikemukakan dalam kisi-kisi penyusunan instrumen penelitian. Penelitian akan dilaksanakan pada Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) di Propinsi Jawa Barat .
Berdasarkan komponen atau variabel-variabel yang sudah dibatasi dalam pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan mutu lulusan pada PTAIS di Proponsi Jawa Barat yang nilai akreditasinya berbeda?
2. Apakah ada hubungan yang berarti antara variabel dan komponen pendidikan (proses pembelajaran) pada PTAIS di Proponsi Jawa Barat?
3. Seberapa besar kontribusi variabel-variabel dalam komponen pembelajaran yang mendahuluinya terhadap variabel yang mengikutinya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk menemukan Kontribusi Ketersediaan Dana Dan Sarana Pendidikan Terhadap Kinerja Dosen Dalam Meningkatkan Mutu Lulusan PTAIS Di Propinsi Jawa Barat.
b. Tujuan Khusus
Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1) Mutu lulusan pada PTAIS di Proponsi Jawa Barat.
2) Pebedaan mutu lulusan pada PTAIS di Proponsi Jawa Barat yang nilai akreditasinya berbeda.
3) Korelasi atau hubungan antara variabel dan komponen pendidikan (proses pembelajaran) pada PTAIS di Proponsi Jawa Barat
4) Kontribusi variabel-variabel dalam komponen pembelajaran yang mendahuluinya terhadap variabel yang mengikutinya
5) Keseimbangan antar perspektif dari pelaksanaan pembelajaran pada PTAIS di Propinsi Jawa Barat .
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoretis
Data hasil penelitian ini diharapkan diperoleh beberapa generaliasi, prinsip atau dalil-dalil terkait dengan mutu lulusan dalam pelaksanaan pembelajaran pada PTAIS di Propinsi Jawa Barat .

b. Manfaat praktis
Temuan-temuan dalam penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi:
1) Para dosen PTAI di Propinsi Jawa Barat dalam penyempumaan manajemen dan proses pembelajaran yang diampunya,
2) Para pimpinan PTAI di Propinsi Jawa Barat dalam penyempurnaan dan peningkatan proses pendidikan, kurikulum, dosen, sarana-media pembelajaran, manajemen dan iklim belajar pada PTAI di Propinsi Jawa Barat yang dipimpinnya,
3) Para unsur pimpinan di Departemen Agama Republik Indonesia untuk penyempurnaan kegiatan pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan PTAI di Propinsi Jawa Barat .

D. Asumsi, Hipotesis dan Pertanyaan Penelitian
1. Asumsi
Pelaksanaan penelitian didasari oleh beberapa asumsi atau anggapan dasar.
1) Mutu lulusan merupakan hal yang mendasar dan memegang peranan yang sangat penting bagi keberadaan dan perkembangan lembaga pendidikan tinggi,
2) Mutu lulusan meliputi semua komponen atau perspektif dan faktor atau variabel yang terlibat dalam proses pelaksanaan program• pembelajaran (perkuliahan),
3) Peningkatan mutu lulusan terkait denganproses pembelajaran harus dilakukan secara berkelanjutan,
4) Peningkatan mutu setiap komponen/perspektif dan variabel-variabel mutu membutuhkan partisipasi dari setiap pengelola dan pelaksana pembelajaran secara berkelanjutan,
5) Peningkatan lulusan poses pembelajaran berpengaruh terhadap mutu lulusan dan variabel program pembelajaran lainnya.
2. Hipotesis
Penelitian ini memiliki beberapa hipotesis umum, yang akan dijabarkan dalam sejumlah hipotesis khusus pada bab tiga, yang membutuhkan pengujian secara statistik .
1) Ada perbedaan yang berarti mutu lulusan PTAIS di Propinsi Jawa Barat yang memiliki nilai akreditasi yang berbeda.
2) Ada hubungan korelasional yang berarti antar ketersediaan dana dan sarana pendidikan terhadap kinerja dosen serta mutu lulusan PTAIS Di Propinsi Jawa Barat
3) Ada kontribusi ketersediaan dana dan sarana pendidikan terhadap kinerja dosen dalam meningkatkan mutu lulusan PTAIS Di Propinsi Jawa Barat.

E. Kerangka Teoretis
Penelitian yang akan dilaksanakan didukung oleh beberapa teori atau konsep dasar, yang terkait dengan fokus masalah yaitu penjaminan mutu pendidikan. Ada dua rumpun teori atau koncep dasar, yang memayungi atau mendasati konsep-konsep dalam penelitian ini, yaitu teori atau konsep-konsep manajemen dan konsep-konsep pendidikan khususnya program pembelajaran.
Agar sistem pendidikan yang dilaksanakan mampu menghasilkan keluaran dan hasil yang berkualitas dan bermutu, maka sistem tersebut harus mampu menciptakan sistem belajar yang juga berkualitas tinggi, yang secara operasional dapat dipresentasikan oleh sistem atau proses pembelajaran yang bermutu. Mutu pendidikan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh komponen lembaga pendidikan, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep mutu pendidikan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi peserta didik yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh dosen yang berkualitas tinggi. Mutu pendidikan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya manusia dapat dimanfaatkan secara optimal. Berarti tenaga administrasi, pengembangan kurikulum, pimpinan, dan staf administrasi pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim Perguruan Tinggi yang mampu membentuk mutu lulusan.
Mutu pendidikan terletak pada bagaimana cara pimpinan merancang-bangun Perguruan Tinggi sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada Perguruan Tinggi itu tersusun, bagaimana warga Perguruan Tinggi berprestasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tanggung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama Perguruan Tinggi bermutu adalah mutu dalam pelayanan kepada mahasiswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.
Perguruan Tinggi bermutu membutuhkan legitimasi dari pemerintah dan mendapat pengakuan masyarakat, jika demikian maka masyarakat akan merasakan manfaat dari pengelolaan Perguruan Tinggi yang bermutu tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perguruan Tinggi bermutu akan memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus dilengkapi menejerial dan sarana yang memadai. Artinya penyelenggaraan Perguruan Tinggi bermutu terbukanya akses dan kesempatan sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Kadilan dalam menyelenggarakan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.
Mutu pendidikan harus memiliki model manajemen yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya yang kuat, mengutamakan pelayanan pada mahasiswa menghargai prestasi setiap mahasiswa berdasarkan kondisinya masing-masing, terpenuhnya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.

PENINGKATAN MUTU
Dari pengaruh globalisasi yang sangat kuat, institusi pendidikan telah berubah menjadi lembaga internasional. Sehingga, selain adanya standar dalam penyelenggaraan international education, dalam rangka perbaikan mutu, manajemen mutu sangat berorientasi pada pelanggan, baik di pasar lokal maupun internasional yang terdesentralisir dan sangat kompetitif. Dengan pendekatan strategi tentang mutu, lembaga pendidikan menjadi lebih sungguh-sungguh da¬lam menangani yang berkaitan dengan peningkatan mutu kinerja dan market share, serta isu value for money. Perbaikan mutu yang berorientasi pada pelanggan sangat penting terutama demi kelangsungan perguruan tinggi dalam kondisi yang dinamis. Kebijakan strategi manajemen mutu dari suatu lembaga pendidikan merupakan cermin bagi pihak eksternal, terutama peserta didik dan calon peserta didik, bahwa mutu pendidikan merupakan prioritas utama dari lembaga tersebut.
Dengan mencermati kondisi dan situasi yang ada, tampaknya konteks lembaga pendidikan yang berbeda menyebabkan pusat perhatian mengenai mutu juga berbeda. Perhatian utama tentang mutu pendidikan masih berkisar sebatas bagai¬mana usaha yang perlu dilakukan untuk meningkatkan mutu.
Menurut Rivai, (2009: 709) ada tiga faktor yang dapat dilihat sebagai pendorong perlunya memperluas ruang lingkup perhatian dalam rangka peningkatan mutu yaitu: faktor kebijakan, berkaitan dengan issue value for money dan tentang akuntabilitas dari pendidikan.
Faktor pertama, melalui berbagai kebijakan baik yang tertuang dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maupun rencana penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, pemerintah telah menunjukkan perlunya perbaikan mutu yang dijabarkan dalam program-program pendidikan. Hasil evaluasi me¬nunjukkan bahwa waktu rata-rata peserta didik (khususnya mahasiswa) yang menyelesaikan studi¬nya masih terlalu panjang dibandingkan dengan waktu acara program studi. Contoh untuk tahun 1999/2000, hanya 47% mahasiswa program D-III dan 51 % mahasiswa program S-1 yang dapat menyelesaikan studinya seperti yang diharapkan. Selain itu, produktivitas lulusan, yaitu perbandingan antara jumlah lulusan dan jumlah mahasiswa, belum memuaskan, terutama untuk program S-1 di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di mana terlihat adanya kecenderungan yang menurun. Meskipun banyak faktor yang berpengaruh, misalnya faktor mahasiswi, itu sendiri, fakta tersebut merupakan salah satu indikasi adanya pencapaian mutu yang rendah pad a sistem pendidikan tinggi.
Faktor kedua berkaitan dengan issue value for money, yaitu sehubungan dengan adanya fakta makin merosotnya perekonomian yang berakibat langsung pada menurunnya kemampuan masyarakat termasuk orang tua mahasiswa untuk membiayai pendidikan anaknya. Apakah benar lembaga pendidikan telah memberikan pendidikan yang bermutu? Di lain pihak, adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, di mana penggunaan dana pen¬didikan perlu diusahakan seefisien dan seefektif mungkin. Oleh karena itu, kebutuhan untuk meningkatkan anggaran di lembaga pendidikan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena peningkatan anggaran merupakan salah satu usaha untuk membiayai penyelengga¬raan pendidikan yang menerapkan prinsip penggunaan sumber daya secara efisien. Terlihat bahwa prinsip value for money dapat dianggap sebagai faktor eksternal bagi pendidikan tinggi dalam mendorong pelaksanaan prosedur untuk menjamin mutu pendidikan tinggi .
Faktor ketiga yang dapat dipandang sebagai pendorong bagi peningkatan mutu di lembaga pendidikan sejalan dengan makin meningkatnya tuntutan tentang akuntabilitas dari pendidikan, terutama menjelang era otonomi yang diawali dengan perubahan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada beberapa universitas negeri. Sehubungan dengan hal ini, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana lembaga pendidikan mem¬pertahankan dan memonitor mutunya, apa ukuran-ukuran yang digunakan untuk meng¬identifikasi dan mengatasi kemungkinan inefisiensi, serta sejauh mana lembaga pendidikan dapat memberikan respons mengenai kebutuhan masyarakat yang berubah-ubah.
Kondisi-kondisi tersebut merupakan faktor pendorong bagi perlunya mekanisme untuk peningkatan anggaran pendidikan. Kehadiran mekanisme tersebut dipandang dapat mengakomodasi pelaksanaan evaluasi diri dari setiap lembaga pendidikan secara efektif Oleh karena itu, dalam manajemen mutu, perhatian tidak hanya sebatas perbaikan mutu tetapi yang juga penting adalah mengusahakan adanya mekanisme yang tepat, baik dan dalam maupun luar universitas, untuk menjamin tercapainya mutu yang tinggi.
Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak dunia pendidikan terutama lembaga pendidikan untuk mulai secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan mengadakan perubahan demi perbaikan mutu, sehingga lulusan yang dihasilkan adalar: yang unggul dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan meningkat.
Sehubungan dengan hal di atas, maka proses penyelenggaraan pendidikan telah banyak menarik perhatian para peneliti dan praktisi pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu lembaga pendidikan. Oleh karena itu, penelitian strategis yang berkaitan dengan pengelolaan pendidikan perlu digalakkan, sehingga dapat diketahui bagaimana upaya-upaya yang seharusnya dilakukan dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan yang diharapkan. Hasil-hasil penelitian demikian sangat perlu karena berguna dalam memberikan informasi kepada para pembuat kebijaksanaan di bidang pendidikan dan penelitian.

MUTU PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI
Mutu (Harvey dan Green: 1993 dalam Porter, 1994) diartikan sebagai a relative concept which changed with the context and mean different things to different people. Hal ini karena pada kenyataannya orang yang sarna mungkin akan menerapkan konsep yang berbeda pada saat yang lain. Secara teoretis, ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami arti mutu. Pertama, mutu mencerminkan suatu karakteristik yang dimiliki. Dalam sudut pan¬dang ini, sesuatu yang bermutu dipandang sebagai sesuatu yang excellence/valuable dan mutu sarna sekali tidak mempunyai apa yang disebut evaluative sense (Margetson, 1994).
Pada pendekatan kedua yang disebut pendekatan metafisik (metaphysical belief), mutu dipandang sebagai sesuatu yang tidak hanya bisa dianalisis secara deskriptif, tetapi juga dianalisis secara evaluatif atau sesuatu yang bisa diukur. Hal ini karena, dalam memandang mutu bisa dibedakan secara absolut antara fakta-fakta yang dikaitkan dengan analisis secara deskriptif dan nilai-nilai yang dikaitkan dengan analisis secara evaluatif. Lebih lanjut, perbedaan antara evaluative and descriptive senses dari mutu diperkuat oleh adanya feno¬mena yang continues dan descrete.
Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu di lembaga pendidikan dipandang dengan pendekatan metafisik. Adapun alasan utamanya, yaitu bahwa jika mutu didekati dengan pendekatan deskriptif semata dengan alasan untuk menghin¬dari –value judgment-yang sifatnya subjektif dan individual, adalah sangat absurd. Hal ini disebabkan karena mutu sangat berkaitan erat dengan nilai itu sendiri.
Setelah diketahui bahwa mutu dapat menggunakan pendekatan metafisik, sehingga untuk mengukurnya perlu terlebih dahulu dibuat persamaan persepsi tentang ¬yang dimaksud dengan mutu di dalam sistem lembaga pendidikan. Pertama, ¬dapat melihat mutu sebagai mutu dari pengadaan pendidikan atau mutu pendidikan itu sendiri. Burge dan Tannock dalam Rowley (1995), mengartikan mutu pendidikan sebagai the success. which an institution provides educational environments which enable students effectivel) ¬achieve worthwhile learning goals including appropriate academic standards.
The Higher Educational Council (HEC) Australia melihat mutu dalzz; konteks sebagai berikut: the council sees the focus on outcome, the fitness for purpose, fundamental to understanding how each of the processes within institutions are organ'¬and evaluated in order to ensure the quality of outcome (Linke, 1992). Sama seperti Burge dan Tannock, di sini prinsip utama mutu adalah bahwa mutu di universitas diukur deng ¬pendekatan fitness for purpose.
Dari kedua definisi tersebut perlu dikaji arti dari tujuan, Pada umumnya tujuan lembaga pendidikan meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang dikenal sebagai tridarma perguruan tinggi. Sehubungan dengan hal ini, Porter (1994) mengindikasikan akan adanya kesulitan dalam mengukur mutu perguruan tinggi harr dengan menggunakan pendekatan fitness for purpose. Porter (1994) menambahkan pence katan lain yang sifatnya interrelated dengan pendekatan fitness for purpose, yaitu ko exceptional, di mana mutu dapat dipandang sebagai passing a set of requirement or minim standard.
Dalam konteks pendidikan internasional, Global Alliance for Transnational Educa (GATE) mendefinisikan mutu sebagai as meeting or fulfilling requirements, often referred fitness for purpose (GATE, 1998). Dan dalam hubungannya dengan pendekatan pemenuhan standar minimum, standar diartikan sebagai a level or grade of goodness of something, in an education context may be defined as an explicit level of academic attainment. Jelaslah ¬bahwa fungsi standar antara lain as a means of measurements of the criteria by which qu may be judged (GATE, 1998).
Dapat disimpulkan bahwa mutu lembaga pendidikan diartikan sebagai pencapaian tujuan dari suatu lembaga pendidikan yang umumnya mencakup tri darma lembaga pendidikan pengukurannya dilakukan dengan pendekatan exceptional yang menurut Porter (1994) memiliki tiga variasi, yaitu (1) mutu sebagai sesuatu yang distinctive, (2) mutu sebagai suatu ¬yang excellence, dan '(3) mutu sebagai sesuatu yang memenuhi batas standar minimum a conformance to standard.
Dikaitkan dengan sistem lembaga pendidikan di Indonesia (khususnya untuk perguruan tinggi), bahwa senat perguruan tinggi dan fakultas bertanggung jawab untuk melakukan ¬review dari pelaksanaan kegiatan fungsi perguruan tinggi. Selain itu, dekan dan ketua jurusan, bertanggung jawab langsung terhadap pelaksanaan pengajaran, pembelajaran dan penelitian dalam fakultas dan program studi.
Dalam sistem perencanaan program dan anggaran, tiap unit menyusun laporan tahunan yang dijadikan bahan masukan untuk mengadakan evaluasi pelaksanaan program-pro¬gram tahunan. Laporan Hasil Evaluasi menjadi dasar dalam rangka usaha meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu secara berkelanjutan dengan asas otonomi sebagai daya gerak untuk membuat sistem yang dinamis, akuntabilitas atau tang¬gung jawab agar otonomi terselenggara secara bertanggung jawab, akreditasi untuk menja¬min mutu lulusan dan evaluasi diri agar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan didasarkan atas data dan informasi nyata.
Mekanisme dan kerangka kerja untuk mencapai mutu pendidikan pada setiap negara sistem pendidikannya sangat bervariasi, tetapi pada prinsipnya memiliki beberapa kesamaan. Konsep mutu pendidikan sangat berkaitan dengan peningkatan anggaran pendidikan, serta berhubungan pula dengan quality audit dan quality assessment.
Dalam konteks mutu pendidikan, Rowley (1995) mengartikannya sebagai a general term which encompass all the policies, systems and process directed towards ensuring the main¬tenance and enhancement of the quality of educational provision. For example, course design, ,staff development, the collection and use of feedback from students, staff and employes.
Piper (1993) mendefinisikannya sebagai the total of those mechanism and procedures adopted to assure a given quality or the continued improvement of quality, which embodies the planning, defining, encouraging, assessing and control of quality. Tampak bahwa tujuannya adalah untuk mengembangkan praktik-praktik yang berkelanjutan untuk memperbaiki ujuk kerja baik individual atau institusional di semua bidang.
Peningkatan mutu pendidikan di suatu perguruan tinggi diawali dengan mengidentifikasi ruang lingkup manajemen yang umumnya mencakup pengelolaan program¬ studi, penelitian, pengabdian pada masyarakat, staf, mahasiswa, academic support services, resources, assets dan general governance of university. Dalam setiap bidang tersebut perlu ditetapkan prosedur yang akan ditempuh untuk pencapaian mutu. Dalam hal ini termasuk juga mengevaluasi kegiatan-kegiatan untuk mencapai mutu dan kriteria apa saja yang ditetapkan untuk menilai pencapaian mutu tersebut (piper, 1993).
Dalam kaitannya dengan pengendalian mutu, Piper (1993) menyarankan perlunya quality audit oleh badan di luar institusi dan juga dari dalam institusi tersebut. Dalam menetapkan kriteria penilaian, pertama, perlu adanya penetapan parameter untuk menilai mutu dari setiap bidang manajemen dalam bentuk model, kebijakan, atau falsafah. Yang kedua, perlu ditetapkan poin pada setiap parameter yang merupakan standar yang dapat diterima. Oleh karenanya, dalam quality audit yang dilihat adalah keberadaan prosedur; bagaimana pelaksanaannya dibandingkan dengan standar; dan hasil atau akibat dari pelaksanaan prosedur tersebut. Menurut GATE (1998), quality audit adalah the process of ensurin that the arrangements within institution are satisfactory and effective. Jadi, dalam quali audit, titik beratnya adalah mengecek keberadaan prosedur dalam pencapaian tujuan atau target dan fakta (data) untuk membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan semula.
Quality assessment didefinisikan oleh GATE (1998) sebagai an evaluation of the exterc to which an organization is achieving its objective (ex. criterion-referenced), although it ma: instead be norm-referenced (across institute or dicipline). Tampak bahwa quality assessment; mencakup penilaian dari luar universitas mengenai mutu dari teaching and learning (belajar mengajar) suatu universitas untuk setiap mata kuliah.
Quality control menunjuk pada the mechanism, processes, techniques and activi : necessary to ascertain whether a specified standard is being achieve. It is related to perfor¬mance indicator which are the things one checks (GATE, 1998).
Dengan demikian, quality control merupakan prosedur di dalam suatu lembaga pendidikan sedangkan quality audit dan quality assessment merupakan prosedur yang dilakukan oleh badan atau institusi dari luar lembaga pendidikan. Quality audit bertujuan untuk ¬mengecek pencapaian prosedur sedangkan quality assessment merupakan penilaian dari pihak luar, khusus mengenai mutu dari belajar-mengajar untuk setiap mata kuliah di suatu perguruan tinggi.

PENINGKATAN MUTU KINERJA LEMBAGA PENDIDIKAN
Untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan dilakukan denga berbagai cara, yaitu dengan meningkatkan mutu tenaga akademik secara berkelanjutan penataan program studi, pengembangan kurikulum yang fleksibel dan terkendali, peningkatan mutu penelitian pengabdian kepada masyarakat, pengadaan sarana/prasarana dan fasilitas penunjang ¬peningkatan kerja sarna dengan pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan industri lembaga dalam dan luar negeri.
Usaha perbaikan mutu tersebut, telah ditetapkan indikator kinerja, yang antara lain mencakup program studi sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional, peningkatan mutu guru/dosen, kurikulum yang disempurnakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, peningkatan mutu penelitian, dan peningkatan hasil penelitian yang berdaya guna untuk masyarakat dan kalangan bisnis.
Peningkatan mutu juga dilakukan pada usaha peningkatan mutu proses pendidikan melalui optimalisasi proses belajar mengajar serta pengembangan metoda pendidikan dengan pemantapan prinsip manajemen terpadu. Peningkatan mutu dosen dan tenaga penunjang akademik dilakukan melalui peningkatan kesempatan melan¬jutkan pendidikan, seminar, lokakarya, dan lain sebagainya. Peningkatan mutu dan tenaga peneliti dan pengabdian kepada masyarakat melalui penataran dan seleksi. Peningkatan jumlah dan mutu penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dilakukan melalui sistem kompetitif berjenjang, monitoring, seminar, dan publikasi.
Upaya peningkatan mutu berkelanjutan menitikberatkan pada program-program seperti peningkatan kualifikasi dosen, penataan evaluasi dan akreditasi. Dalam hal peningkatan mutu perencanaan dan penganggaran, selain melakukan penyempurnaan seperti standar evaluasi diri, juga meliputi evaluasi hasil pembelajaran, serta melakukan sosialisasi pen¬tingnya evaluasi diri dalam rangka peningkatan mutu kinerja lembaga pendidikan.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka usaha peningkatan mutu pendidikan, dilakukan evaluasi program yang mencakup evaluasi terhadap tujuan-tujuan dari lembaga pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan saat ini belum dirasakan secara optimal. Misalnya belum adanya umpan balik dari peserta didik dan stakeholders lainnya sudah dimasukkan sebagai dasar acuan dalam pelaksanaan evaluasi., kemudian penilaian tentang pencapaian mutu tidak dilakukan. Dalam hal ini sebabnya adalah belum dikembangkan sistem maupun kriteria khusus.
Walaupun sudah dibuat suatu target dan indikator keberhasilan, tetapi hal tersebut belum dirasakan memadai untuk digunakan dalam evaluasi mutu. Indikator kinerja yang standar masih perlu dikembangkan agar dapat dijadikan pedoman bagi setiap lembaga pendidikan dalam melakukan evaluasi diri ataupun menyusun laporan tahunan. Selanjutnya, laporan tahunan yang dibuat oleh perguruan tinggi, meskipun ada yang sudah menunjukkan komitmennya untuk bermutu tinggi dalam segala hal, tetapi tidak menguraikan atau memuat prosedur yang sudah ditempuh oleh perguruan tinggi terse¬but untuk melakukan evaluasi ataupun penilaian terhadap mutu.
Di samping mengupayakan program-program untuk peningkatan mutu pendidikan, pemerintah juga melakukan program yang ditujukan untuk mengendalikan mutu dari luar lembaga pendidikan, yaitu dengan diadakannya pengawasan operasional atau fungsional dari unit di lingkungan lembaga pendidikan.
Sebagai salah satu fungsi organisasi administrasi manajemen yang meliputi pemeriksaan, pengujian, penilaian, pengusutan, peninjauan, ¬pengamatan, pemantauan, pembinaan, pengendalian dan penertiban aparatur dengan tujuan pokok dan fungsi departemen dapat berjalan lancar, berdaya guna dan tepat guna sesuai dengan perundang-undangan yang sesuai. Dalam hubungannya dengan sistem pendidikan nasional, pengawasan dilihat sebagai upaya untuk memberi bimbingan, pembinaan, pengayoman bagi satuan pendidikan yang bersangkutan yang diharapkan terus-mener: ¬dapat meningkatkan mutu pendidikan maupun pelayanannya (Soekarno, 1996).
Pengawasan terhadap prosedur atau mekanisme tertentu yang mencerminkan pentingnya peningkatan anggaran pada lembaga pendidikan. Dengan kata lain, belum melakukan audit ¬terhadap mutu dari suatu perguruan tinggi. Pengawasan substansi dan pengawasan terpadu serta pengawasan administratif yang ada tidaklah tepat dikategorikan sebagai pengawasan terhadap mutu meskipun tujuan akhir dari pemeriksaan Inspektorat Jenderal adalah dalam rangka peningkatan mutu.
Sementara itu BAN berfungsi untuk mengakreditasi program-program studi, baik perguruan tinggi negeri atau swasta yang dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mengontrol mutu pendidikan tinggi. BAN didirikan oleh pemerintah tahun 1996 sehubungan dengan adanya hak masyarakat untuk mengetahui operasionalisasi dan hasil dari suatu perguruan tinggi. Fungsi utama BAN adalah untuk menilai dan memberikan akreditasi program studi ¬baik untuk perguruan tinggi negeri maupun swasta. Penilaian umumnya berfokus pada manajemen program studi yang meliputi kurikulum, staf akademik, mahasiswa, dan kegiatan manajerial lainnya seperti kepegawaian, fasilitas, keuangan, dan governance.
Kegiatan yang dilakukan oleh BAN, meskipun semuanya ditujukan untuk pencapaian mutu, tetapi hasil akreditasi BAN belum dapat dijadikan jaminan tingginya mutu suatu perguruan tinggi. Hal ini antara lain karena BAN hanya melakukan akreditasi sebatas pada pencapaian mutu dari suatu program studi sehingga tidaklah mencerminkan mutu dari suatu perguruan tinggi secara keseluruhan yang tujuannya mencakup pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.

PENTINGNYA ANGGARAN DALAM PENCAPAIAN MUTU
Dalam meningkatkan mutu pendidikan masih diperlukan adanya upaya untuk lebih menyempurnakan sistem atau mekanisme manajemen mutu, khususnya dengan ditunjang oleh peningkatan anggaran. Upaya-upaya perbaikan mutu di lembaga pendidikan diupayakan dengan peningkatan peran audit mutu serta alternatif lain dari peningkatan anggaran.
1. Peningkatan Anggaran untuk Mendukung Sistem Lembaga Pendidikan
Kebijakan pemerintah khususnya tentang peningkatan anggaran secara eksplisit atau tertulis, sudah terlihat adanya kegiatan-kegiatan dalam rangka pening¬katan mutu. misalnya, laporan tahunan yang dilakukan setiap tahun merupakan salah satu bentuk mekanisme pelaksanaan peningkatan mutu kinerja pendidikan tinggi. Pelaksanaan penganggaran berdasarkan sistem blockgrant yang beracuan pada mutu atau merit based competition juga merupakan bentuk peningkatan anggaran yang lain. Oleh karenanya usaha perbaikan terhadap sistem pendidikan tinggi juga dapat ditempuh antara lain dengan mengembangkan indikator-indikator kinerja yang lebih spesifik, sehingga ada ukuran-ukuran yang lebih jelas untuk menilai pencapaian strategi dari suatu tujuan tertentu.
Mekanisme peningkatan mutu di perguruan tinggi dapat dengan mengidentifikasi manajemen map sehingga dapat dikenali bidang apa saja yang masih perlu penyempurnaan sehingga dapat mencapai mutu yang tinggi. Melbourne University (Quality in University, 1999) sebagai salah satu universitas terkemuka di Australia, setiap tahunnya melakukan evaluasi berdasarkan umpan balik yang berasal dari berbagai stakf!holders yang mencakup: (1) survei mahasiswa tentang mutu pe¬ngajaran dan fasilijas penunjang, (2) survei staf tentang mutu manajemen dan administrasi, (3) survei alumni, (4) survei employer tentang persepsi lulusan, (5) survei research student tentang supervisi dan academic resources.
Dalam konteks mutu pengajaran, penilaian mutunya dilakukan oleh fakultas/program studi atau departemen, antara lain teaching quality assessment scheme yang dapat diidenti¬fikasi melalui survei terhadap employer satisfaction. Mekanisme yang lain adalah compre¬hensive review oleh external peer yang dilakukan di tingkat departemen. Review yang tidak dilakukan setiap tahun ini mencaknp rencana pengajaran, profesional representatif, employer, students, staff appraisal dan peer assessment tentang teaching and learning. Dalam bidang penelitian, dilakukan penyempurnaan indikator untuk mengevaluasi research performance, misalnya dengan indikator antara lain industri-related research dan research infrastruktur. Dalam bidang manajemen, review antara lain mencakup: (1) performance assessment dari senior dan middle management, (2) evaluasi tentang efektivitas program-program, (3) survei untuk tujuan benchmarking, (4) staff satisfaction untuk memonitor efektivitas gram, (5) refine reporting dan review mechanism.
Penyempurnaan sistem lembaga pendidikan tinggi, perlu disempurnakannya quality control dari luar lembaga pendidikan. Oleh karena diharapkan tiap lembaga pendidikan dapat berperan aktif dalam rangka meningkatkan mutu perguruan tinggi dengan melaksanakan audit mutu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol penyelenggaraan mekanisme peningkatan mutu di lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan tersebut telah mempunyai suatu mekanisme tersendiri untuk menjamin tercapainya mutu. Selanjutnya, apakah mekanisme tersebut memang sudah tepat dikaitkan dengan SDM dan fakta serta bagaimana efektivitasnya untuk meneap mutu yang diharapkan.

KEBIJAKAN MENGENAI PENINGKATAN ANGGARAN
Pentingnya kebijakan tentang peningkatan anggaran pendididikan tinggi adalah bahwa mekanisme atau sistem pendidikan tinggi dari suatu pendididikan tinggi dapat dipandang sebagai salah satu mekanisme untuk meningkatkan akuntabilitas pendididikan tinggi dalam hal operasionalisasi perguruan tinggi.
Kebijakan tentang peningkatan mutu kinerja di lembaga pendidikan, Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A., (2009: 718) menyatakan bahwa hendaknya pertama, diidentifikasi secara terperinci mengenai siapa harus melakukan praktik-praktik untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Apakah kegiatan tersebut dilakukan oleh fakultas atau unit-unit administrasi tertentu atau dibentuk komite khusus seperti academic board, education committee, committee of associate deans, graduate dan scholarship committee. Kedua, praktik-praktik apa saja yang dapat dibangkan oleh suatu universitas sehubungan dengan pentingnya memerhatikan prinsip-prinsip ekonomi seperti efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang ketiga, adalah faktor ketersediaan SDM dan fasilitas lainnya juga perlu diperhatikan ¬dalam rangka penyelenggaraan pendidikan tinggi. Keempat, kepada siapa kegiatan-kegiatan peningkatan mutu kinerja tersebut dipertanggungjawabkan merupakan pertimbang yang penting untuk menghindari adanya kenyataan tidak adanya tindak lanjut sere peningkatan anggaran dilaksanakan.
Total Quality Management (TQM) dapat dianggap sebagai metode altematif dari peningkatan mutu kinerja pendidikan tinggi. Rowley (1995) mengartikan TQM sebagai a management phylosophy embracing all activities through which the needs and expectations of the customers and the community, and the objective of the organization are satisfied in the most efficient and cost-effective way by maximising the potential of all empoyees in a continuing drive for improvement.
Rivai, (2009: 719) berpandangan bahwa pada prinsipnya TQM yang juga dapat dipandang sebagai totally quality culture men¬cakup: (1) komitmen dan contoh dari top manajemen tentang mutu, (2) kesadaran akan cost of quality, (3) pengetahuan tentang tools dan teknik dari total quality, (4) adanya pengertian tentang pentingnya spesifikasi dan kepuasan dari konsumen, (5) adanya perbaikan yang berkesinambungan, (6) setiap ,orang mempunyai tanggung jawab terhadap pencapaian mutu. Dengan demikian, kesuksesan suatu program/mekanisme ten tang mutu tidak cuma ter¬gantung pada alat dan tekniknya, tetapi lebih pada program yang bisa mendorong semua staf agar bisa memberikan kontribusinya pada usaha mencapai mutu secara keseluruhan.

KIAT PENGEMBANGAN MUTU LEMBAGA PENDIDIKAN
Berkurangnya alokasi dana pemerintah untuk perguruan tinggi, walaupun diimbangi dengan Dana Biaya Operasional (DBO), mempunyai dampak yang kuat, karena 67% biaya per mahasiswarn berasal dari alokasi dana pemerintah dan hanya 11 persennya dari orang tua. Dengan demikian, penurunan kemampuan ekonomi orang tua dampaknya tidak besar bagi penyelengga¬raan perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi negeri papan bawah merasakan penurunan pemasukan dari seluruh sumbernya.
Sebaliknya, perguruan tinggi swasta tidak merasakan akibat penurunan kemampuan pemerintah mensubsidi, karena perguruan tinggi swasta tidak disubsidi. Perguruan tinggi swasta terutama tergantung pada orang tua, sehingga penurunan kemampuan ekonomi orang tua sangat terasa bagi penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, perguruan tinggi swasta papan atas cenderung tidak atau kurang merasakan dampak negatif, karena mahasiswanya sebagian besar berasal dari kalangan yang memang mampu untuk membayar.
Upaya pemerintah dengan memberikan bantuan kepada peserta didik dalam bentuk beasiswa dan kepada institusi dalam bentuk bantuan Dana Biaya Operasional (DBO). DBO diberikan ke perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta di seluruh Indonesia dengan alokasi dana untuk 1.211 perguruan tinggi pada tahun 1999/2000. Beasiswa ter¬utama diberikan kepada peserta didik tingkat akhir yang terancam putus kuliah, tetapi berprestasi dan aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Beasiswa diberikan dalam dua bentuk. Pertama, beasiswa kerja mahasiswa (BKM) yang diberikan sebagai pembayar pekerjaan paruh-waktu di kampus yang dilakukannya.
EFISIENSI PENGGUNAAN DANA
Peningkatan efisiensi dapat dilakukan melalui perampingan struktur dan pemanfaatan sumber daya secara lebih produktif termasuk pemanfaatan bersama. Efisiensi dapat dilakukan dengan cara penggunaan dosen matakuliah yang sama yang dimiliki oleh masing¬-masing fakultas atau bahkan jurusan, program studi, atau bahkan program kekhususan. Cara lain, dengan pemanfaatan gedung perkuliahan tertentu secara bersama-sama sehingga menjadikan fasilitas tersebut digunakan terus-menerus dengan waktu jeda yang relatif pendek hingga dapat mengurangi pengeluaran. Strategi ini dapat menghemat yang disertai dengan perampingan struktur dapat dilakukan dengan menggabung beberapa jurusan dan fakultas yang berdekatan dalam cabang keilmuan.
Perubahan struktur dapat dilakukan dengan melakukan reorientasi dengan memer¬hatikan kebutuhan lingkungan lokal. Peningkatan relevansi terhadap kebutuhan nyata dapat meningkatkan efektivitas sumber daya dan produk. Pada gilirannya dapat meningkatkan pemasukan.
Untuk melakukan perampingan, pemanfaatan fasilitas secara efektif, dan manajemen profit centers diperlukan perubahan pola pikir. Perubahan yang dituntut dari menggantungkan diri kepada pemerintah menjadi pola pikir yang memandang aspek pemanfaatan sumber daya secara lebih bertanggungjawab. Kalau manajemen dan staf perguruan tinggi swasta dapat survive dan justru berkembang pesat, hal serupa juga dapat terjadi di perguruan tinggi negeri.

F. Metode Penelitian dan Analisis Data
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Riset kuantitatif ini mengandung arti bahwa fenomena-fenomena objektif dikaji secara kuantitatif. Sukmadinata (2006) menyatakan bahwa maksimalisasi objektivitas desain penelitian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan angka-angka, pengolahan statistik, struktur dan percobaan terkontrol.
Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode derskriptif analitik korelasional. Metode deskriptif yang digunakan adalah deskriptif kuantatitatif tetapi dilengkapi juga dengan deksriptif kualitatif. Data kuantitatif akan dianalisis dengan statistik korelasional, sehingga secara lengkap metode yang digunakan adalah deskriptif analitik korelasional. Dalam pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan angket berbentuk sekal garis, dilengkapi dengan wawancara dan studi dokwnenter.
2. Analisa Data
Analisis data akan dilakukan dengan mengbitung perbedaan, korelasi dan regresi secara parsial maupun multiple dengan menggunakan koefisien korelasi dari Product Moment Pearson. Teknis perhitungannya akan menggunakan software SPSS tipe 16. Data nominal akan dianalisis menggunakan statistik deskriptif, dan data kualitatif dianalisis secara naratif-kualitatif Hasil analisis data digunakan untuk menjawab pertanyaan dan membuktikan hipotesis.

G. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi penelitian ini adalah jumlah dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Propinsi Jawa Barat.
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiono, 2005: 91), peneliti menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu Sampel akan diambil secara acak (random) dalam strata berdasarkan kualifikasi PTAIS hasil akreditasi A, B dan C. Besar sampel dihitung berdasarkan data basil uji coba. Kemudian kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi.